Kata
“bung” terdengar sangat heroik bersama letupan tabik “merdeka!” Di
setiap pertemuan kaum-kaum berbambu runcing dulu, mereka menyapa tajam,
setajam niat untuk membelah negeri dari penjajahan si mata biru. “Bung"
adalah para pemuda pejuang berambut panjang dan tangan terkepal. “Bung”
menjadi hasutan yang menggiring pemuda-pemuda mengenal arti kata
merdeka. “Bung” adalah keberanian, kebebasan dan kemerdekaan itu.
Di kalangan pemimpin
kemerdekaan, kata “bung” juga disematkan di depan Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Di
sela-sela diskusi kaum-kaum gelisah, kata “bung” menunjuk hidung bagi
mereka yang mau berpikir segera dan menyurutkan langkah bagi kaum
peragu. Kata “bung” menjadi ruh yang menobatkan diri bahwa kemerdekaan harus direbut dengan cara pasti.
Sehingga segerombolan pemuda dengan yakin “menculik” Bung Karno dan
Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk sebuah kepastian : kemerdekaan!
Melalui Radio Pemberontakan,
Soetomo berbicara lantang. Sang “bung” menjadi mesiu yang membakar
semangat, hingga perlawanan berkobar di Surabaya tanggal 10 November
1945. Bung Tomo adalah bung dengan penuh kepastian, ketika debat telah
mengalir panjang dalam penemuan kelamin dari arti kemerdekaan, kata “bung”
menjadi keteguhan. Bangkit dan melawan!
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan arti "bung" sebagai abang;
panggilan akrab kepada seorang laki-laki. Sederhana dan apa adanya.
Namun kisah heroik masa lampau menyeret kata bung tak jauh dari kata
perlawanan, berkalung derita dan bermandi darah. Dan kata “bung” ada dalam
ketulusan memilih pondasi yang tepat pada mimbar-mimbar pledoi
pembelaan di depan pengadilan Hindia Belanda. “Bung” tak mampu dikurung
dalam penjara-penjara dingin, karena di luar sana semangat si bung tetap
menyala.
Dinding-dinding tercakar kata, bertulis “Merdeka atau Mati”
ataupun di gerbong-gerbong Kereta Api. Kata-kata itu diambil dari
penutup pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, “Lahirnya Pancasila”. Hingga
menggiring beberapa pelukis ambil bagian untuk menambah daftar
penyemangat. Mereka ingin membuat poster yang bertendensi mengobarkan
semangat juang rakyat, atas permintaan Soekarno. Salah satunya adalah
seorang pelukis bernama Affandi.
Sebuah poster yang idenya dari
Bung Karno terlukis sebagai gambar orang yang dirantai tapi rantai itu
sudah putus. Yang menjadi model saat itu adalah pelukis Dullah. Namun terasa kering, ketika belum ada kata-kata yang tertoreh di poster itu. Soedjojono,
bapak seni lukis modern Indonesia, berinisiatif menanyakan kepada
Chairil Anwar yang kebetulan baru datang ke sebuah pertemuan.
Dari mulut
Chairil Anwar terdengar kalimat, “Boeng, ajo Boeng!” Dan ketika
ditanyakan dari mana idenya, Chairil Anwar, penyair “si binatang jalang”
itu bercerita bahwa para pekerja seks di Pasar Senen memanggil setiap
pria dengan kata-kata "Bung Sini Bung!" Ternyata kata-kata itu
biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya
pada zaman itu. Para pelacur mencoba merayu para pria dengan kata
“bung,” yang ternyata juga kata itu dekat dengan gelora “semangat.” Dan
para seniman lukis itu langsung dengan kocak berkesimpulan bahwa Chairil
baru saja ber-"bung sini bung!"
Dalam perjalanan waktu kata
“bung” tak hanya tampil dalam poster yang disebarluaskan ke segala
tempat, tapi juga hadir di dinding-dinding, puisi hingga lagu. Seperti
bait akhir dari lagu perjuangan kita, "…mari bung rebut kembali!" Kata
“bung" melampaui garis pemisah berdasar kelas, agama, suku, dan juga
ras. Kata "bung" membawa ke dalam suasana persatuan, solidaritas, dan nasionalisme.
Hingga suatu ketika pada akhir
1980-an, Harmoko, Menteri Penerangan zaman itu, pernah hendak
membangkitkannya lagi. Si menteri yang gemar memulai pembicaraannya
dengan kalimat "sesuai petunjuk Bapak Presiden" itu meminta agar "bung"
dijadikan sebagai panggilan nasional lagi. Tapi himbauan itu tidak
berdengung. "Bung" rupanya tidak cocok dengan suasana politik yang
suram, ekonomi yang senjang dan keamanan yang terbelenggu. Seperti
muaknya kepada para mahasiswa yang dulunya berlabel angkatan ‘65 tetapi
ketika berlenggang di gedung dewan, mereka memunggungi rakyat yang
ditungganginya. Dan tanpa malu pula mereka memakai kata "bung" untuk
menyebut “sesamanya”.
Chairil Anwar menemukan kata
“Bung, ayo Bung” dari kisah kelam para pelacur. Chairil menemukan kata
“bung” pada mereka yang ingin juga merasakan nikmatnya hidup. Sama
seperti kita yang juga ingin mencicipi kemerdekaan itu, walau sudah
jelas rantai itu diputuskan. Gambar yang dijelaskan oleh kata “Boeng,
ayo Boeng!”
Kini angin berhembus lain, ajakan
“Boeng, sini Boeng” telah dijawab oleh para pemimpin negeri ini dengan
melacurkan dirinya pada kuasa. Bersetubuh pada kepentingan partai dan
kelompoknya saja. Bergelimang nafsu kuasa hingga jerit
“persetubuhan” yang kentara adalah kepentingan menuju puncak orgasme
politik dan berkeringat dusta. Nafas-nafas yang ditawarkan dalam dengus
orasi politiknya.
Di setiap pagi terhadir kabar
tak pasti. Bukan kepastian seperti poster “Boeng, ajo boeng” bergambar
rantai terputus. Kisah itu sudah usang, sama tuanya dengan rantai yang
telah berkarat. Kemerdekaan yang sudah lama, namun tak mencerminkan
kemerdekaan yang penuh.
sumber : http://edisantana.blogspot.co.id/2010/09/bermula-dari-ucapan-para-pelacur.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar